Cari Artikel

Wednesday, 29 August 2012

Menjadikan Kesulitan menjadi sebuah kunci untuk menggapai Kesuksesan


Apa yang membuat hidup nampaknya sangat sulit?” Mungkin ini adalah hal yang ditanyakan hampir setiap orang. 
 

Suatu hari seorang teman bercerita, ia kehabisan bensin dalam perjalanan pulang, sementara uang yang ada akan diberikan kepada isterinya untuk kebutuhan besok hari. Dia menepikan motornya dan menangisi hidupnya. “Kenapa Hidupku belum juga berubah?” Lebih jauh dia bertanya: “ Adakah kunci untuk kaya dan makmur tanpa kesulitan dan kekurangan?”

hidup itu nampak sulit karena kita selalu merasa lebih tahu bagaimana hidup ini seharusnya menurut versi kita. Mari kita perhatikan dunia ini dengan cara yang berbeda, bisakah kita tahu apa yang sedang terjadi detik ini di kota lain? bisakah kita melihat apa yang terjadi saat ini di belahan bumi lainnya? Kemudian di dalam perut kita, apakah bisa kita melihat proses yang sesungguhnya terjadi?

kita memiliki keterbatasan, Jika hidup hanya mengandalkan (sebatas) apa yang kita tahu tentang apa yang paling baik atau paling buruk buat masa depan kita, tentu ini sangat membatasi dan menggelisahkan. Artinya Melihat yang tidak kita ketahui dari keterbatasan.
Kita cenderung membayangkan apa yang kita inginkan terjadi tanpa harus melakukan ini dan itu, karena kita merasa lebih mengetahui bahwa ini nanti pasti begini dan begitu. kita lebih sering sibuk dengan defenisi-defenisi mental kita untuk menilai bagaimana seharusnya sesuatu terjadi agar dikatakan baik oleh diri kita dan orang lain.

Ketika kehabisan bensin, teman saya tadi mengeluh dan menangis, bagaimana kalau perilaku itu di ubah. Kita lakukan sebaliknya, kita tetap mengisi bensin dengan hati gembira dan lapang, meski kita tahu uang itu sebenarnya untuk kebutuhan esok hari. Kita gembira masih bisa sampai tujuan, sebab bukankah apa yang terjadi nanti kita sama-sama tidak tahu.

Pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak sebagian orang, “kalau saya harus gembira disaat uang saya habis, bukankah saya sedang menipu diri saya sendiri?”

Pikiran kita tidak bisa menjangkau keseluruhan, kita hanya tahu sepotong-sepotong saja, dan kita cepat-cepat menarik kesimpulan bahwa itu baik dan ini buruk, sehingga kita juga bereaksi dengan cepat terhadap situasi dan kondisi yang sebenarnya baru kita ketahui sepotong-sepotong tadi. Betapa hal ini sangat membatasi.

Mungkin kita pernah melihat seseorang sangat gembira saat mendapatkan hadiah mobil, tapi tidak berapa lama kemudian dia masuk rumah sakit akibat kecelakaan ketika mengendarai mobil hadiah itu.
Nah, di saat menerima mobil dia begitu senang dan gembiranya, bahkan orang-orang terus berkata betapa beruntungnya dia. Namun setelah kecelakaan itu terjadi, hatinya perih dan berujar “ Andai saya tidak mendapatkan hadiah mobil itu”.

Kita lebih cenderung melihat dan memburu kesenangan dan menolak kesulitan, kita tidak bisa melihat bahwa kesenangan dan kesedihan itu sama dan satu, ibarat dua sisi mata uang, ibarat siang yang mengandung malam. Tidak terpisahkan satu dengan lainnya.
Orang lain mungkin melihat betapa enaknya memiliki mobil, nyaman, tidak kepanasan, tidak kehujanan. Akan tetapi pemilik mobil juga melihat enaknya mengendarai motor, lebih irit, lebih cepat sampai tujuan, apalagi ketika terjebak kemacetan di sepanjang jalur mudik misalnya.

Memang seperti yang sudah sama-sama kita ketahui, membuat konsep tidak sesulit mempraktekannya. ketika ada yang memperlakukan kita dengan semena-mena sementara hati diminta untuk terus tersenyum dan berterimakasih, tentu ini bukan perkara yang mudah. Namun bagi batin yang seimbang tentu tidak sulit melakukannya.

Tertawa di saat gembira memang sangatlah mudah, tapi tersenyum di saat sedih betapa sulitnya. Namun hidup memang mengajari kita untuk mengalami kedua hal itu, entah baik atau buruk (dalam versi kita), senang atau sedih, yang diminta adalah bagaimana kita menyikapinya. bagaimana sikap kita bisa jadi itulah cermin dari kondisi batin kita.

Inilah yang dimaksudkan sejak awal. Bahwa cara –cara hidup bekerja kadangkala tidak bisa diterima oleh nalar. Matematika dalam logika manusia jauh berbeda dengan matematika langit. Ketika yang nampak adalah kesulitan dan keburukan, kita bersedih, putus asa, marah. Namun setelah keadaan berubah dan situasi menjadi menggembirakan buru-buru kita menyadari bahwa ada rahasia di balik itu semua. Barulah nalar kita mau menerimanya.

Ingatkah bagaimana wujud ulat sebelum menjadi kupu-kupu? Karena buruknya, ia dijauhi bahkan dibenci. Akan tetapi setelah sang ulat bermetamorfosa dari kepompong menjadi kupu-kupu, semua orang memujanya. Sebab ia adalah simbol kecantikan dan keanggunan.
Kesulitan mulanya juga dialami oleh cincin berlian yang sangat dikagumi keindahannnya. ketika diproses untuk ditempa dan dibentuk, ia harus dipanasi dalam api terlebih dahulu hingga akhinya jadilah cincin berlian yang mengkilau.

Guru-guru besar telah mengalami hal yang sama. Salah satunya Lihatlah cerita mengharukan dari Nelson Mandela yang harus menjalani kehidupan di dalam penjara selama 27 tahun terlebih dahulu sebelum membawanya menjadi seorang presiden Afrika Selatan.
Seperti sahabat dari Jawa bilang “Minum jamu(baca kesulitan) memang pahit rasanya, namun badan terasa menjadi lebih segar dan sehat(tumbuh sukses) karenanya”.
Seorang guru yang mengetahui rahasia hidup sukses juga pernah mengatakan; “Seandainya kita tahu bahwa hidup di dorong kemajuannya oleh kesulitan dan penderitaan, maka kita akan berdoa untuk diberikan banyak masalah”.

Kesimpulannya, kesediaan kita menerima kesulitan yang datang, sama seperti menerima kunci yang siap di gunakan untuk membuka pintu kesuksesan berikutnya. Dan pada akhirnya jawaban dari pertanyaan, “Adakah kunci untuk kaya dan makmur tanpa kesulitan dan kekurangan?”... yaitu dengan menyetujui cara-cara hidup menghidupi kita, kita akan bisa melihat bahwa hidup sebenarnya bekerja untuk kita dan terus mendukung kita.